David Beckham: tentang Aristokrat Sepakbola dan Anomali Britania

David Beckham merilis Netflix Documentary Series pada tanggal 4 Oktober 2023 lalu. Dokumenter berisi perjalanan karir dan kehidupan pribadinya tersebut ramai diperbincangkan. Bukan karena kontroversial, namun karena penuturan cerita yang disuguhkan menunjukkan kualitas di atas rata-rata. Beckham memang telah gantung sepatu satu dekade lalu, tapi sosoknya seolah enggan undur diri seberapa pun waktu telah melaju. Dokumenter berjudul BECKHAM ini menyajikan narasi-narasi yang menyadarkan kita, bahwa menjadi pesepakbola kelas dunia akan selalu diikuti cerita sarat makna.

*

Cerita dimulai dari Beckham kecil yang diceburkan oleh sang ayah -atas obsesinya terhadap Manchester United- untuk bermain si kulit bundar. Gayung bersambut, Beckham kecil juga menyukainya. Bermain, berlatih, dan bertanding dalam kompetisi lokal dilakoninya. Hari-hari melelahkan yang mengantarkan Beckham pada satu telepon di malam hari dari Sir Alex Ferguson. Tentu Sir Alex memperoleh informasi mengenai Becks dari pemandu bakat. Namun tetap saja, coba bayangkan mendapat telepon langsung dari seorang Sir Alex Ferguson.

Dinamika hubungan Fergie dan Beckham bukan sebuah rahasia. Dalam autobiografinya berjudul Sir Alex Ferguson (2013), Fergie sudah secara gamblang menyatakan pandangan terhadap anak didiknya itu. Salah satu kelebihan Beckham yang disorot Fergie adalah hasrat dan semangat yang luar biasa, utamanya di saat-saat kritis. Tentu tanpa melupakan umpan dan tendangan akurat khasnya. Namun seperti yang kita tahu, semua penonton sepakbola tahu, Sir Alex Ferguson sangat tidak nyaman dengan aspek selebritas yang ada pada diri Beckham. Ketidaknyamanan yang sudah mulai ia rasakan sejak Beckham mencetak gol legendaris dari garis tengah lapangan saat melawan Wimbledon. Fergie sadar satu hal: Beckham menyukai atensi.

“David adalah satu-satunya pemain binaan saya yang memilih untuk menjadi terkenal, yang berusaha menjadi tenar di luar sepakbola”

Sejatinya Fergie tidak pernah memandang Beckham buruk, apalagi menaruh dendam. Sikap Fergie lebih tergambar seperti seorang ayah yang menyayangkan keputusan putranya. Sir Alex Ferguson adalah sosok pelatih yang ingin anak-anaknya fokus pada sepakbola. Gary Neville dalam dokumenter bahkan menyebut Fergie seorang sosialis, karena saat latihan ia mengatur sepatu semua pemain harus berwarna hitam. Setelah insiden sepatu melayang di ruang ganti, Fergie menginginkan Beckham pergi.

“Ketika seorang pemain Manchester United berpikir bahwa dirinya lebih besar dari sang manajer, dia harus pergi. Ketika manajer kehilangan otoritasnya, tidak ada lagi yang namanya klub”

Beckham tentu kecewa. “I was sold overnight, and next day I was already in Madrid”, Becks mengungkapkan perasaan soal kepindahannya ke Real Madrid kelak. Namun sejarah akan tetap mencatat hari-hari gemilang Beckham bersama Manchester United. Cinta Beckham terhadap rumahnya ini tulus. Umpan demi umpan diberi, tendangan bebas demi tendangan bebas diselayangkan, gol demi gol tercipta. Beckham ikut andil siginifikan dalam kesuksesan MU. Enam gelar Premiere League, dua trofi FA Cup, dan tentu saja gelar UEFA Champions League musim 1998-1999 yang terlalu legendaris itu.

Sedikit berpendapat di luar konteks, keajaiban pada final UCL 1999 rasanya lebih di luar nalar ketimbang final UCL 2005. Liverpool punya 45 menit untuk membalas ketertinggalan 3 gol dari AC Milan di babak pertama, sedangkan MU mampu membalikan keadaan hanya dalam… 2 menit. Dua gol masing-masing dari Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer tersebut berasal dari sumber yang sama, tendangan sudut David Robert Joseph Beckham. Ia menyumbangkan satu momen ikonik yang akan dikenang dalam sepanjang sejarah olahraga sepakbola.

Atas perlakuan keras yang diterimanya dari Sir Alex Ferguson, Beckham tetap menaruh hormat kepada bosnya itu. Tidak ada kata-kata buruk yang keluar dari mulutnya (kecuali jika dipelintir tabloid). Pada dasarnya, Beckham adalah seorang aristokrat. Dalam KBBI, aristokrat didefinisikan sebagai orang dari golongan bangsawan atau ningrat. Beckham memang berasal dari Inggris yang memiliki akar kultur kebangsawanan, tetapi jujur saja, tidak semua British bisa mengaplikasikan sikap elegan seorang bangsawan. Salah satu British yang bisa melakukannya adalah Beckham. Tidak tanggung-tanggung, saat itu lawannya adalah satu Britania.

*

Inggris adalah negara yang menarik. Obsesi masyarakatnya terhadap suatu hal atau figur terkadang bisa melebihi militansi penggemar K-Pop. Royal Family dan sepakbola adalah dua ekosistem yang paling menyedot perhatian The Brits. Terhadap Beckham, masyarakat Inggris sudah menaruh atensi sejak hari-hari pertamanya sebagai pesepakbola. Pemuda bertalenta dengan perawakan rupawan sudah tentu menjadi daya tarik pemberitaan. Beckham mulai bekerja sama dengan brand, yang dia akui sendiri saat itu belum banyak pesepakbola yang melakukannya. Semesta mendukung, Beckham ternyata anak muda yang punya selera. Bayaran yang ia peroleh dihabiskan untuk membeli jam tangan, mobil, dan barang-barang mewah lainnya yang malah menambah ‘kebintangan’ seorang Beckham. Popularitas Beckham semakin meningkat, pemberitaan terhadapnya bak seorang selebriti.

Cinta memang tak bisa dibatasi. Semua orang berhak jatuh cinta pada siapapun, termasuk Beckham. Hanya saja, pilihan Beckham semakin menguatkan ketertarikan media dan netizen terhadap dirinya. Pilihannya adalah berkencan dengan Victoria Adams yang kala itu tenar bersama Spice Girls. Mereka seolah bersulap diri dalam semalam menjadi Power Couple dan banjir puja-puji. Victoria sendiri sosok yang tak kalah aristokrat. Dengan penuh percaya diri ia berujar bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik dengan sepakbola, bahkan sampai hari suaminya pensiun. “I never like football, I just loved him playing”. Mungkin ini yang membuat Victoria tidak berkontribusi banyak untuk membuat Beckham fokus pada karirnya. Namun dalam membuat Beckham menjadi seorang ikon, tentu andil Victoria tidak main-main. Posh were born for Becks. FYI, media Inggris memang paling jago membuat headline. Saat Victoria melahirkan anak pertama, salah satu tabloid memberi judul “TOO POSH TO PUSH”, hanya karena Victoria melakukan operasi caesar.

*

Piala Dunia memang selalu, dan akan selalu, menggalang perhatian jutaan mata. Apalagi untuk warga yang negaranya berlaga. Tak terkecuali Inggris pada pagelaran tahun 1998. Komposisi pemain mumpuni termasuk Beckham tentu melambungkan harapan masyarakat Inggris. Harapan yang dalam sekejap berubah menjadi petaka untuk Beckham. Satu hal yang membuat dokumenter ini berkesan adalah hadirnya sosok-sosok yang melintasi fase penting karir seorang Beckham. Dalam konteks ini tentu tak lain adalah Diego Simione, yang menjadi penyebab berputar baliknya kehidupan Beckham saat itu.

Mewawancarai pemain yang sudah gantung sepatu selalu lebih menyenangkan, karena mereka cenderung mendudukan suatu peristiwa dengan jujur. Seperti Simione, yang berkata bahwa aksinya ‘mengganggu’ Beckham pada pertandingan perdelapan final kontra Argentina memang ditujukan untuk melihat reaksi sang lawan. Football is about strategic, he said. Simione tidak sepenuhnya salah, karena suka tidak suka memprovokasi lawan adalah hal yang lazim terjadi dalam sebuah pertandingan olahraga. Reaksi Beckham yang marah hingga menendang kaki Simione juga tentu tidak salah, siapa pula yang tidak emosi diperlakukan demikian. Aksi Simione yang terjatuh dengan gestur berlebihan juga.. yah apalah arti sepakbola tanpa diving, yang bahkan dalam sepakbola Italia dapat dipandang sebagai sebuah seni, Fubrizia istilahnya. Bahkan Gol Tangan Tuhan tidak akan lahir tanpa ‘seni-seni’ macam ini. Lantas siapa yang salah dalam insiden ini?

Keputusan wasit memberi Beckham kartu merah mungkin bisa diperdebatkan. Namun bagaimanapun wasit adalah pengadil yang telah diberi otoritas memutuskan setiap perkara yang terjadi di lapangan, jadi mendebatnya juga percuma. Pihak yang tersisa adalah masyarakat Inggris, yang melimpahkan penyebab kekalahan tim nasional Inggris (ingat, dalam adu pinalti) pada Beckham seorang. Kemurkaan publik Inggris bisa dimaklumi sampai satu titik, tak mengapa jika ingin mencari kambing hitam. Namun menjadi hal yang tidak wajar manakala kemurkaan berubah menjadi kebencian berkepanjangan. Seantero negeri membenci Beckham kala itu. Perundungan publik dan sorakan dalam setiap pertandingan MU bahkan sampai hampir setahun berikutnya tak terelakkan. Bayangkan ketika seorang warga negara diberi pertanyaan “what do you feel after you let your nation down?” Apalagi bagi warga negara seperti Beckham yang mencintai negerinya.

Sebetulnya kebencian berkepanjangan publik Inggris terhadap Beckham karena dianggap biang kerok kekalahan The Three Lions, adalah sebuah ironi. Beckham tidak melakukan blunder yang menyebabkan terciptanya gol Argentina. Beckham tidak gagal mengeksekusi tendangan pinalti. Beckham ‘hanya’ diusir dari pertandingan karena kartu merah. Apakah Inggris bisa menang dalam waktu normal jika masih bermain dengan 11 orang? Tidak ada yang bisa menjamin. Apakah jika ada Beckham, Inggris pasti memenangkan adu pinalti karena ia menjadi eksekutor? Belum tentu juga. Sebagai perbandingan, insiden yang mirip juga terjadi pada Zidane di final Piala Dunia 2006. Namun Zidane tidak mengalami perundungan masif seperti Beckham.

Menganggap tetap hadirnya Beckham akan membuat skenario pertandingan menjadi berbeda, justru menunjukkan betapa publik Inggris sangat mempercayainya. Maka dari itu ketika Beckham melakukan kesalahan, kekecewaannya jauh lebih dalam. Sejatinya Beckham selalu dicintai. Namun cinta memang membuat manusia kadangkala tidak waras. Dalam semalam Beckham bertransformasi menjadi sosok yang dibenci setelah sebelumnya banjir puja-puji. Peristiwa yang dialami Beckham pada usia yang baru menginjak 23 tahun tak ubahnya sebuah anomali masyarakat Inggris.

Namun Beckham tetaplah seorang aristokrat. Semua perundungan ia sikapi dalam diam. Kebencian publik dia telan sendiri, tak ada upaya melawan atau komentar membela diri. Jika ditelaah dari komentarnya sepanjang dokumenter, sikap ini nampaknya hadir karena Beckham masih mencerna ujian yang secara mendadak menghampirinya, dan tentu karena dia tidak akan pernah bisa membenci negerinya. Benar saja, roda berputar. Beckham mendapatkan panggungnya saat timnas Inggris menghadapi partai hidup mati yang menentukan keikutsertaan mereka pada Piala Dunia 2000. Satu tendangan bebas yang kembali mengubah benci menjadi cinta. Seorang warga yang sedang membuktikan rasa hormat pada negaranya. Tak tanggung-tanggung, si warga negara itu sekaligus menjabat kapten.

*

Dari seluruh figur yang muncul dalam dokumenter, yang paling penulis tidak duga kehadirannya adalah Florentino Perez. Sosok yang bertanggung jawab membawa Beckham ke Santiago Bernabeu, tentunya selain Sir Alex yang mendepaknya. Florentino Perez bukan seorang seniman, namun filosofinya dalam mengambil keputusan kerap dilandasi alasan-alasan nyeni. Beckham menyukai sisi itu dari Perez. Saat pertama kali bertemu di kantornya, Sang Presiden menganalogikan Beckham sebagai salah satu gedung pencakar langit, di antara gedung-gedung lain bernama Zidane, Figo, Ronaldo, dan Carlos. Gedung pencakar langit bagi Florentino Perez melambangkan kedigdayaan.

Layaknya seorang seniman yang menyuarakan kejujuran dalam karyanya, Perez juga tidak menutupi motivasinya mendatangkan Beckham ke Madrid. Perez yang berambisi menciptakan tim penuh bintang, menggenapkan mimpinya melalui Beckham. Bahkan Perez juga tidak sungkan berkata pembelian Beckham bertujuan untuk meningkatkan nilai komersil klubnya. Kehidupan Beckham di Real Madrid bisa dibilang antara beruntung dan tidak beruntung. Beruntung karena Los Galacticos diisi oleh pemain-pemain yang tidak hanya mumpuni secara materi, namun juga kedewasaan. Zidane dkk. tidak terlalu terpengaruh dengan sorotan media terhadap Beckham, sehingga Becks juga dapat dirangkul dengan baik. Namun Beckham nampaknya selalu apes jika berkaitan dengan pelatih. Ketika Beckham bersiap memulai musim pertamanya, Real Madrid ternyata mengontrak Carlos Queiroz, mantan asisten manajer Manchester United yang kerap membisiki Sir Alex tentang performa Beckham. Ketika akhirnya Real Madrid menunjuk Fabio Capello, ketegasannya juga menjadi petaka lain buat Beckham.

Awal perjalanan Beckham di Real Madrid tidak terlalu bagus, walaupun performa Becks sebetulnya juga tidak buruk. Namun saat di bawah Capello, Beckham dan Ronaldo kerap dicadangkan. Apakah karena sang Italiano ingin mematahkan kesan jika kau bintang maka kau aman, entahlah. Pada akhirnya kondisi ini yang memberi ide sebuah klub dari negara -yang menyebut sepakbola sebagai Soccer -untuk memboyong Beckham. Ketika Beckham mulai menyeriusi pembicaraan dengan LA Galaxy hingga akhirnya menandatangani kontrak, dewan Real Madrid merasa terhina. Kalau bukan karena intervensi rekan-rekan setimnya, Beckham hampir saja jadi penghuni tetap bangku cadangan. Beckham beruntung, ia sempat merasakan gelar juara liga di musim terakhirnya bersama Real Madrid.

*

Keputusan Beckham untuk bermain sepakbola di Los Angeles mengerutkan dahi semua orang. Apalagi buat Neville, memahami orang Amerika saja dia tidak bisa apalagi harus bermain sepakbola di sana. Namun sepertinya semua orang di industri sepakbola sudah mulai menerima bahwa Beckham dan popularitas sepertinya ditakdirkan bersama. Beckham juga tidak sepenuhnya egois. Kepindahan ke Amerika merupakan upaya memberikan ruang rekonsiliasi bagi keluarganya, setelah mengalami masa-masa sulit di Spanyol. Hanya saja saat itu Beckham mungkin belum tau seperti apa sepakbola di Amerika. Semua orang tau Amerika adalah negara adidaya, namun menonton pertandingan sepakbola di sana membuat kita geleng-geleng kepala. Pada satu titik Beckham pasti menyadari itu.

Hal ini terlihat dari keputusannya bergabung dengan AC Milan dengan status pinjaman, meski komitmen dan profesionalitasnya jadi diragukan. Bermain di kompetisi Eropa adalah syarat dari Fabio Capello yang saat itu menjadi pelatih tim nasional Inggris (told ya, Beckham memang apes) jika Beckham masih ingin bermain di Piala Dunia 2010. Beckham menyebut dirinya pada fase itu memang secara sadar menjadi egois, apapun akan dia lakukan untuk bermain untuk negaranya. Victoria hanya bisa menghela napas melihat suaminya yang tiba-tiba harus pindah lagi, untung kali ini dia tidak perlu ikut serta. Who needs Milan when you have Hollywood?

Pasang surut hubungan Beckham dengan Landon Danovan dan penggemar LA Galaxy pada akhirnya bisa diatasi, dan LA Galaxy menjadi juara Major League Soccer. Beckham tetap meninggalkan legacy untuk klub ini. Paris menjadi kota terakhir dalam perjalanan karirnya. Jika ada satu hal yang disyukuri banyak orang tentang Beckham, adalah fakta bahwa ia pensiun di klub Eropa. Beckham memainkan musim terakhirnya di kompetisi Eropa, sehingga rasanya tidak terlalu nelangsa. Lagi-lagi Beckham masih dinaungi keberuntungan. Selain gelar juara liga, pelatih Paris Saint-Germain saat itu adalah Carlo Ancelotti. Figur pelatih dengan sosok kebapakkan, yang memberi Beckham menit bermain yang rasional hingga selebrasi yang layak pada pertandingan terakhirnya. Beckham gantung sepatu dalam kondisi yang terhormat.

*

Keputusan Beckham mempertahankan rumah tangganya dengan Victoria, membangun citra sebagai semi-selebriti, dan hijrah ke Amerika kini terlihat (mungkin) tepat. Meskipun aspek selebritas kerap dituding sebagai faktor penyebab Beckham tidak menjadi sebesar Ronaldo atau Messi, toh Beckham tetap punya ruang kebesarannya sendiri. Dalam kehidupan personalnya Beckham memiliki keluarga yang hangat dan keren. Setelah pensiun dia juga masih laris bekerja sama dengan banyak brand. Namun lebih dari itu semua Beckham tetaplah seorang pesepakbola. Kontribusi pada profesi yang membesarkan namanya itu tidak berhenti. Jika kebanyakan pemain beralih menjadi pelatih, Beckham malah mendirikan klub. Langkah yang sangat Beckham, menghasilkan sesuatu dengan menggabungkan aspek olahraga, komersil, dan ketenaran. Bisa jadi belasan tahun lagi kita akan melihat sepakbola menjadi besar di Amerika Serikat, dengan Beckham yang membuka pintunya. Barangkali ada satu masa dimana Americans tidak lagi menggunakan kata Soccer. Tentunya kita berharap di masa depan pertandingan sepakbola Amerika tidak lagi membuat kita geleng-geleng kepala.

Published by Dana Andriana

Born and raised in Jakarta. A Psychology graduates in attainments, a civil servant in devotion. Thinking through her fingers.

2 thoughts on “David Beckham: tentang Aristokrat Sepakbola dan Anomali Britania

Leave a comment