David Beckham: tentang Aristokrat Sepakbola dan Anomali Britania

David Beckham merilis Netflix Documentary Series pada tanggal 4 Oktober 2023 lalu. Dokumenter berisi perjalanan karir dan kehidupan pribadinya tersebut ramai diperbincangkan. Bukan karena kontroversial, namun karena penuturan cerita yang disuguhkan menunjukkan kualitas di atas rata-rata. Beckham memang telah gantung sepatu satu dekade lalu, tapi sosoknya seolah enggan undur diri seberapa pun waktu telah melaju. Dokumenter berjudul BECKHAM ini menyajikan narasi-narasi yang menyadarkan kita, bahwa menjadi pesepakbola kelas dunia akan selalu diikuti cerita sarat makna.

*

Cerita dimulai dari Beckham kecil yang diceburkan oleh sang ayah -atas obsesinya terhadap Manchester United- untuk bermain si kulit bundar. Gayung bersambut, Beckham kecil juga menyukainya. Bermain, berlatih, dan bertanding dalam kompetisi lokal dilakoninya. Hari-hari melelahkan yang mengantarkan Beckham pada satu telepon di malam hari dari Sir Alex Ferguson. Tentu Sir Alex memperoleh informasi mengenai Becks dari pemandu bakat. Namun tetap saja, coba bayangkan mendapat telepon langsung dari seorang Sir Alex Ferguson.

Dinamika hubungan Fergie dan Beckham bukan sebuah rahasia. Dalam autobiografinya berjudul Sir Alex Ferguson (2013), Fergie sudah secara gamblang menyatakan pandangan terhadap anak didiknya itu. Salah satu kelebihan Beckham yang disorot Fergie adalah hasrat dan semangat yang luar biasa, utamanya di saat-saat kritis. Tentu tanpa melupakan umpan dan tendangan akurat khasnya. Namun seperti yang kita tahu, semua penonton sepakbola tahu, Sir Alex Ferguson sangat tidak nyaman dengan aspek selebritas yang ada pada diri Beckham. Ketidaknyamanan yang sudah mulai ia rasakan sejak Beckham mencetak gol legendaris dari garis tengah lapangan saat melawan Wimbledon. Fergie sadar satu hal: Beckham menyukai atensi.

“David adalah satu-satunya pemain binaan saya yang memilih untuk menjadi terkenal, yang berusaha menjadi tenar di luar sepakbola”

Sejatinya Fergie tidak pernah memandang Beckham buruk, apalagi menaruh dendam. Sikap Fergie lebih tergambar seperti seorang ayah yang menyayangkan keputusan putranya. Sir Alex Ferguson adalah sosok pelatih yang ingin anak-anaknya fokus pada sepakbola. Gary Neville dalam dokumenter bahkan menyebut Fergie seorang sosialis, karena saat latihan ia mengatur sepatu semua pemain harus berwarna hitam. Setelah insiden sepatu melayang di ruang ganti, Fergie menginginkan Beckham pergi.

“Ketika seorang pemain Manchester United berpikir bahwa dirinya lebih besar dari sang manajer, dia harus pergi. Ketika manajer kehilangan otoritasnya, tidak ada lagi yang namanya klub”

Beckham tentu kecewa. “I was sold overnight, and next day I was already in Madrid”, Becks mengungkapkan perasaan soal kepindahannya ke Real Madrid kelak. Namun sejarah akan tetap mencatat hari-hari gemilang Beckham bersama Manchester United. Cinta Beckham terhadap rumahnya ini tulus. Umpan demi umpan diberi, tendangan bebas demi tendangan bebas diselayangkan, gol demi gol tercipta. Beckham ikut andil siginifikan dalam kesuksesan MU. Enam gelar Premiere League, dua trofi FA Cup, dan tentu saja gelar UEFA Champions League musim 1998-1999 yang terlalu legendaris itu.

Sedikit berpendapat di luar konteks, keajaiban pada final UCL 1999 rasanya lebih di luar nalar ketimbang final UCL 2005. Liverpool punya 45 menit untuk membalas ketertinggalan 3 gol dari AC Milan di babak pertama, sedangkan MU mampu membalikan keadaan hanya dalam… 2 menit. Dua gol masing-masing dari Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer tersebut berasal dari sumber yang sama, tendangan sudut David Robert Joseph Beckham. Ia menyumbangkan satu momen ikonik yang akan dikenang dalam sepanjang sejarah olahraga sepakbola.

Atas perlakuan keras yang diterimanya dari Sir Alex Ferguson, Beckham tetap menaruh hormat kepada bosnya itu. Tidak ada kata-kata buruk yang keluar dari mulutnya (kecuali jika dipelintir tabloid). Pada dasarnya, Beckham adalah seorang aristokrat. Dalam KBBI, aristokrat didefinisikan sebagai orang dari golongan bangsawan atau ningrat. Beckham memang berasal dari Inggris yang memiliki akar kultur kebangsawanan, tetapi jujur saja, tidak semua British bisa mengaplikasikan sikap elegan seorang bangsawan. Salah satu British yang bisa melakukannya adalah Beckham. Tidak tanggung-tanggung, saat itu lawannya adalah satu Britania.

*

Inggris adalah negara yang menarik. Obsesi masyarakatnya terhadap suatu hal atau figur terkadang bisa melebihi militansi penggemar K-Pop. Royal Family dan sepakbola adalah dua ekosistem yang paling menyedot perhatian The Brits. Terhadap Beckham, masyarakat Inggris sudah menaruh atensi sejak hari-hari pertamanya sebagai pesepakbola. Pemuda bertalenta dengan perawakan rupawan sudah tentu menjadi daya tarik pemberitaan. Beckham mulai bekerja sama dengan brand, yang dia akui sendiri saat itu belum banyak pesepakbola yang melakukannya. Semesta mendukung, Beckham ternyata anak muda yang punya selera. Bayaran yang ia peroleh dihabiskan untuk membeli jam tangan, mobil, dan barang-barang mewah lainnya yang malah menambah ‘kebintangan’ seorang Beckham. Popularitas Beckham semakin meningkat, pemberitaan terhadapnya bak seorang selebriti.

Cinta memang tak bisa dibatasi. Semua orang berhak jatuh cinta pada siapapun, termasuk Beckham. Hanya saja, pilihan Beckham semakin menguatkan ketertarikan media dan netizen terhadap dirinya. Pilihannya adalah berkencan dengan Victoria Adams yang kala itu tenar bersama Spice Girls. Mereka seolah bersulap diri dalam semalam menjadi Power Couple dan banjir puja-puji. Victoria sendiri sosok yang tak kalah aristokrat. Dengan penuh percaya diri ia berujar bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik dengan sepakbola, bahkan sampai hari suaminya pensiun. “I never like football, I just loved him playing”. Mungkin ini yang membuat Victoria tidak berkontribusi banyak untuk membuat Beckham fokus pada karirnya. Namun dalam membuat Beckham menjadi seorang ikon, tentu andil Victoria tidak main-main. Posh were born for Becks. FYI, media Inggris memang paling jago membuat headline. Saat Victoria melahirkan anak pertama, salah satu tabloid memberi judul “TOO POSH TO PUSH”, hanya karena Victoria melakukan operasi caesar.

*

Piala Dunia memang selalu, dan akan selalu, menggalang perhatian jutaan mata. Apalagi untuk warga yang negaranya berlaga. Tak terkecuali Inggris pada pagelaran tahun 1998. Komposisi pemain mumpuni termasuk Beckham tentu melambungkan harapan masyarakat Inggris. Harapan yang dalam sekejap berubah menjadi petaka untuk Beckham. Satu hal yang membuat dokumenter ini berkesan adalah hadirnya sosok-sosok yang melintasi fase penting karir seorang Beckham. Dalam konteks ini tentu tak lain adalah Diego Simione, yang menjadi penyebab berputar baliknya kehidupan Beckham saat itu.

Mewawancarai pemain yang sudah gantung sepatu selalu lebih menyenangkan, karena mereka cenderung mendudukan suatu peristiwa dengan jujur. Seperti Simione, yang berkata bahwa aksinya ‘mengganggu’ Beckham pada pertandingan perdelapan final kontra Argentina memang ditujukan untuk melihat reaksi sang lawan. Football is about strategic, he said. Simione tidak sepenuhnya salah, karena suka tidak suka memprovokasi lawan adalah hal yang lazim terjadi dalam sebuah pertandingan olahraga. Reaksi Beckham yang marah hingga menendang kaki Simione juga tentu tidak salah, siapa pula yang tidak emosi diperlakukan demikian. Aksi Simione yang terjatuh dengan gestur berlebihan juga.. yah apalah arti sepakbola tanpa diving, yang bahkan dalam sepakbola Italia dapat dipandang sebagai sebuah seni, Fubrizia istilahnya. Bahkan Gol Tangan Tuhan tidak akan lahir tanpa ‘seni-seni’ macam ini. Lantas siapa yang salah dalam insiden ini?

Keputusan wasit memberi Beckham kartu merah mungkin bisa diperdebatkan. Namun bagaimanapun wasit adalah pengadil yang telah diberi otoritas memutuskan setiap perkara yang terjadi di lapangan, jadi mendebatnya juga percuma. Pihak yang tersisa adalah masyarakat Inggris, yang melimpahkan penyebab kekalahan tim nasional Inggris (ingat, dalam adu pinalti) pada Beckham seorang. Kemurkaan publik Inggris bisa dimaklumi sampai satu titik, tak mengapa jika ingin mencari kambing hitam. Namun menjadi hal yang tidak wajar manakala kemurkaan berubah menjadi kebencian berkepanjangan. Seantero negeri membenci Beckham kala itu. Perundungan publik dan sorakan dalam setiap pertandingan MU bahkan sampai hampir setahun berikutnya tak terelakkan. Bayangkan ketika seorang warga negara diberi pertanyaan “what do you feel after you let your nation down?” Apalagi bagi warga negara seperti Beckham yang mencintai negerinya.

Sebetulnya kebencian berkepanjangan publik Inggris terhadap Beckham karena dianggap biang kerok kekalahan The Three Lions, adalah sebuah ironi. Beckham tidak melakukan blunder yang menyebabkan terciptanya gol Argentina. Beckham tidak gagal mengeksekusi tendangan pinalti. Beckham ‘hanya’ diusir dari pertandingan karena kartu merah. Apakah Inggris bisa menang dalam waktu normal jika masih bermain dengan 11 orang? Tidak ada yang bisa menjamin. Apakah jika ada Beckham, Inggris pasti memenangkan adu pinalti karena ia menjadi eksekutor? Belum tentu juga. Sebagai perbandingan, insiden yang mirip juga terjadi pada Zidane di final Piala Dunia 2006. Namun Zidane tidak mengalami perundungan masif seperti Beckham.

Menganggap tetap hadirnya Beckham akan membuat skenario pertandingan menjadi berbeda, justru menunjukkan betapa publik Inggris sangat mempercayainya. Maka dari itu ketika Beckham melakukan kesalahan, kekecewaannya jauh lebih dalam. Sejatinya Beckham selalu dicintai. Namun cinta memang membuat manusia kadangkala tidak waras. Dalam semalam Beckham bertransformasi menjadi sosok yang dibenci setelah sebelumnya banjir puja-puji. Peristiwa yang dialami Beckham pada usia yang baru menginjak 23 tahun tak ubahnya sebuah anomali masyarakat Inggris.

Namun Beckham tetaplah seorang aristokrat. Semua perundungan ia sikapi dalam diam. Kebencian publik dia telan sendiri, tak ada upaya melawan atau komentar membela diri. Jika ditelaah dari komentarnya sepanjang dokumenter, sikap ini nampaknya hadir karena Beckham masih mencerna ujian yang secara mendadak menghampirinya, dan tentu karena dia tidak akan pernah bisa membenci negerinya. Benar saja, roda berputar. Beckham mendapatkan panggungnya saat timnas Inggris menghadapi partai hidup mati yang menentukan keikutsertaan mereka pada Piala Dunia 2000. Satu tendangan bebas yang kembali mengubah benci menjadi cinta. Seorang warga yang sedang membuktikan rasa hormat pada negaranya. Tak tanggung-tanggung, si warga negara itu sekaligus menjabat kapten.

*

Dari seluruh figur yang muncul dalam dokumenter, yang paling penulis tidak duga kehadirannya adalah Florentino Perez. Sosok yang bertanggung jawab membawa Beckham ke Santiago Bernabeu, tentunya selain Sir Alex yang mendepaknya. Florentino Perez bukan seorang seniman, namun filosofinya dalam mengambil keputusan kerap dilandasi alasan-alasan nyeni. Beckham menyukai sisi itu dari Perez. Saat pertama kali bertemu di kantornya, Sang Presiden menganalogikan Beckham sebagai salah satu gedung pencakar langit, di antara gedung-gedung lain bernama Zidane, Figo, Ronaldo, dan Carlos. Gedung pencakar langit bagi Florentino Perez melambangkan kedigdayaan.

Layaknya seorang seniman yang menyuarakan kejujuran dalam karyanya, Perez juga tidak menutupi motivasinya mendatangkan Beckham ke Madrid. Perez yang berambisi menciptakan tim penuh bintang, menggenapkan mimpinya melalui Beckham. Bahkan Perez juga tidak sungkan berkata pembelian Beckham bertujuan untuk meningkatkan nilai komersil klubnya. Kehidupan Beckham di Real Madrid bisa dibilang antara beruntung dan tidak beruntung. Beruntung karena Los Galacticos diisi oleh pemain-pemain yang tidak hanya mumpuni secara materi, namun juga kedewasaan. Zidane dkk. tidak terlalu terpengaruh dengan sorotan media terhadap Beckham, sehingga Becks juga dapat dirangkul dengan baik. Namun Beckham nampaknya selalu apes jika berkaitan dengan pelatih. Ketika Beckham bersiap memulai musim pertamanya, Real Madrid ternyata mengontrak Carlos Queiroz, mantan asisten manajer Manchester United yang kerap membisiki Sir Alex tentang performa Beckham. Ketika akhirnya Real Madrid menunjuk Fabio Capello, ketegasannya juga menjadi petaka lain buat Beckham.

Awal perjalanan Beckham di Real Madrid tidak terlalu bagus, walaupun performa Becks sebetulnya juga tidak buruk. Namun saat di bawah Capello, Beckham dan Ronaldo kerap dicadangkan. Apakah karena sang Italiano ingin mematahkan kesan jika kau bintang maka kau aman, entahlah. Pada akhirnya kondisi ini yang memberi ide sebuah klub dari negara -yang menyebut sepakbola sebagai Soccer -untuk memboyong Beckham. Ketika Beckham mulai menyeriusi pembicaraan dengan LA Galaxy hingga akhirnya menandatangani kontrak, dewan Real Madrid merasa terhina. Kalau bukan karena intervensi rekan-rekan setimnya, Beckham hampir saja jadi penghuni tetap bangku cadangan. Beckham beruntung, ia sempat merasakan gelar juara liga di musim terakhirnya bersama Real Madrid.

*

Keputusan Beckham untuk bermain sepakbola di Los Angeles mengerutkan dahi semua orang. Apalagi buat Neville, memahami orang Amerika saja dia tidak bisa apalagi harus bermain sepakbola di sana. Namun sepertinya semua orang di industri sepakbola sudah mulai menerima bahwa Beckham dan popularitas sepertinya ditakdirkan bersama. Beckham juga tidak sepenuhnya egois. Kepindahan ke Amerika merupakan upaya memberikan ruang rekonsiliasi bagi keluarganya, setelah mengalami masa-masa sulit di Spanyol. Hanya saja saat itu Beckham mungkin belum tau seperti apa sepakbola di Amerika. Semua orang tau Amerika adalah negara adidaya, namun menonton pertandingan sepakbola di sana membuat kita geleng-geleng kepala. Pada satu titik Beckham pasti menyadari itu.

Hal ini terlihat dari keputusannya bergabung dengan AC Milan dengan status pinjaman, meski komitmen dan profesionalitasnya jadi diragukan. Bermain di kompetisi Eropa adalah syarat dari Fabio Capello yang saat itu menjadi pelatih tim nasional Inggris (told ya, Beckham memang apes) jika Beckham masih ingin bermain di Piala Dunia 2010. Beckham menyebut dirinya pada fase itu memang secara sadar menjadi egois, apapun akan dia lakukan untuk bermain untuk negaranya. Victoria hanya bisa menghela napas melihat suaminya yang tiba-tiba harus pindah lagi, untung kali ini dia tidak perlu ikut serta. Who needs Milan when you have Hollywood?

Pasang surut hubungan Beckham dengan Landon Danovan dan penggemar LA Galaxy pada akhirnya bisa diatasi, dan LA Galaxy menjadi juara Major League Soccer. Beckham tetap meninggalkan legacy untuk klub ini. Paris menjadi kota terakhir dalam perjalanan karirnya. Jika ada satu hal yang disyukuri banyak orang tentang Beckham, adalah fakta bahwa ia pensiun di klub Eropa. Beckham memainkan musim terakhirnya di kompetisi Eropa, sehingga rasanya tidak terlalu nelangsa. Lagi-lagi Beckham masih dinaungi keberuntungan. Selain gelar juara liga, pelatih Paris Saint-Germain saat itu adalah Carlo Ancelotti. Figur pelatih dengan sosok kebapakkan, yang memberi Beckham menit bermain yang rasional hingga selebrasi yang layak pada pertandingan terakhirnya. Beckham gantung sepatu dalam kondisi yang terhormat.

*

Keputusan Beckham mempertahankan rumah tangganya dengan Victoria, membangun citra sebagai semi-selebriti, dan hijrah ke Amerika kini terlihat (mungkin) tepat. Meskipun aspek selebritas kerap dituding sebagai faktor penyebab Beckham tidak menjadi sebesar Ronaldo atau Messi, toh Beckham tetap punya ruang kebesarannya sendiri. Dalam kehidupan personalnya Beckham memiliki keluarga yang hangat dan keren. Setelah pensiun dia juga masih laris bekerja sama dengan banyak brand. Namun lebih dari itu semua Beckham tetaplah seorang pesepakbola. Kontribusi pada profesi yang membesarkan namanya itu tidak berhenti. Jika kebanyakan pemain beralih menjadi pelatih, Beckham malah mendirikan klub. Langkah yang sangat Beckham, menghasilkan sesuatu dengan menggabungkan aspek olahraga, komersil, dan ketenaran. Bisa jadi belasan tahun lagi kita akan melihat sepakbola menjadi besar di Amerika Serikat, dengan Beckham yang membuka pintunya. Barangkali ada satu masa dimana Americans tidak lagi menggunakan kata Soccer. Tentunya kita berharap di masa depan pertandingan sepakbola Amerika tidak lagi membuat kita geleng-geleng kepala.

Ronaldo Yang Tak Pernah Biasa

Bermain di Amerika Serikat, Timur Tengah, atau Asia umumnya menjadi pilihan bagi sebagian besar pesepakbola di penghujung karirnya. Selain faktor penurunan stamina yang tidak bisa dibohongi seiring bertambahnya usia, bermain sambil ‘berlibur’ memang rasanya boleh juga. Berangkat latihan tanpa beban untuk menjuarai liga dan turnamen Eropa, menikmati indahnya kota Dubai atau New York sepulang kerja, dan jauh dari sorotan media adalah bayangan menyenangkan untuk menikmati hari-hari menjelang gantung sepatu. Namun sepertinya, Cristiano Ronaldo sama sekali tidak tertarik.

Berusia 36 tahun dan telah meraih segalanya, Ronaldo malah kembali ke Liga Inggris. Liga paling kompetitif, jika diukur dari keragaman tim yang keluar sebagai juara setiap tahunnya. Ronaldo kembali memperkuat Manchester United, klub yang membesarkan namanya menjadi pemain kelas dunia. Sebetulnya penulis berspekulasi pria kelahiran Madeira ini akan pulang ke Sporting Lisbon. Namun nampaknya bagi Ronaldo, Liga Portugal bukanlah medan tarung selevel bagi dirinya, yang pada musim terakhir saja masih menjadi pemain paling subur di Serie A. Ronaldo yang dipandang banyak pihak arogan itu mungkin malu menoleransi dirinya sendiri. Akhirnya ia memilih pulang ke rumahnya yang lain di tanah Britania.

*

Bicara soal arogansi, pengertian tersebut perlu ditempatkan sesuai porsinya. Umumnya seseorang dikatakan arogan apabila ia menyombongkan pencapaian yang mungkin sebenarnya tidak seberapa. Lantas pertanyaannya, bagaimana jika pencapaian dimaksud memang luar biasa? Mungkin logika ini yang dipakai oleh Ronaldo. Sepakbola bukan musik yang berkaitan dengan rasa. Ukuran keberhasilan seorang pesepakbola adalah angka: berapa kali juara, berapa banyak gol yang dicetak, berapa banyak clean sheet, hingga berapa nilai transfer seorang pemain. Ronaldo mungkin sadar bahwa angka-angka yang dimilikinya akan membuat definisi arogan menjadi berbeda.

Memang tidak pernah benar-benar diketahui apakah karakter Ronaldo tersebut merupakan pembawaan diri yang sudah dari sananya atau self-branding yang sengaja dibangun. Namun jika mundur jauh ke belakang, sebetulnya Ronaldo hari ini dan Ronaldo silam tidak ada bedanya. Ketika Portugal kalah dari Yunani di partai final Piala Eropa 2004, Ronaldo yang saat itu masih berusia 19 tahun menangis tersedu-sedu (yang dia ulangi di tahun 2016, hanya saja dengan makna berbeda). Meskipun bermain penuh dan berkontribusi cukup signifikan, ketika seorang pemain muda bersikap demikian di tengah-tengah pemain kelas dunia saat itu seperti Luis Figo, Deco, atau Rui Costa, akan rentan dipandang sedang mencari panggung. Namun ternyata setelah itu pun Ronaldo memang tidak pernah sungkan mengekspresikan emosi yang ia rasa. Jika sedih atau kecewa silakan menangis, jika puas silakan berbangga, dan jika kesal silakan marah. Wayne Rooney pasti paham betul maksud yang terakhir.

Ada sebuah Insiden di Piala Dunia 2006 saat Rooney terlihat sengaja menendang selangkangan Carvalho ketika dalam duel perebutan bola. Tak terima rekan setimnya dilanggar, Ronaldo memprovokasi wasit dan mengatakan Rooney seharusnya diberi kartu merah. Rooney sontak mendorong Ronaldo seolah mempertanyakan maksud dari aksi rekan satu klub-nya. Singkat cerita, Rooney dikeluarkan dari pertandingan. Mendramatisir keadaan demi menambah keuntungan dan kesempatan tim untuk menang adalah hal yang biasa terjadi di dalam pertandingan sepak bola. Namun yang dianggap menarik adalah reaksi Ronaldo setelahnya. Setelah Rooney meninggalkan lapangan, Ronaldo mengedipkan mata ke arah bangku cadangan Portugal. Momen sepersekian detik tersebut kemudian di-blow up habis-habisan oleh media Inggris. Terbentuk narasi bahwa Ronaldo ‘merayakan’ keberhasilannya membuat Rooney terkena kartu merah. Rooney sendiri beberapa tahun kemudian mengakui pelanggaran tersebut dan memaklumi tindakan Ronaldo. Namun tetap saja, tindakan Ronaldo terhitung berani mengingat ia bermain di Liga Inggris dan satu klub dengan Rooney. Bukan terhadap risiko ketidakharmonisan Manchester United (karena itu bisa ditangani Sir Alex), namun terhadap risiko framing dari media Inggris yang terkenal suka mencari kambing hitam.

Syukur tidak ada dampak signifikan dari kejadian tersebut. Hubungan Ronaldo dengan Rooney baik-baik saja, dan tidak ada hujatan berkelanjutan yang diterima Ronaldo. Yang terjadi malah sebaliknya, Ronaldo berkembang menjadi key player yang disayangi oleh publik Old Trafford. 3 gelar juara Liga Inggris dan 1 gelar Liga Champions juga sudah lebih dari cukup untuk membuat media Inggris tak tertarik lagi menyinggung insiden Piala Dunia. Bersama Manchester United, Ronaldo memulai kejayaan. Juara Premiere League, Liga Champions, Piala Dunia Antarklub, hingga penghargaan Ballon D’Or diraihnya dalam kurun tiga tahun. Ronaldo menjelma menjadi A-list player. Walaupun uniknya di saat yang bersamaan, seseorang di Spanyol tengah menapaki proses yang serupa. Mohon bersabar, soal itu nanti kita bahas di tulisan berikutnya.

*

Rumus untuk berkembang menjadi pemain berprestasi sebetulnya sederhana: kombinasi antara kemampuan individu, kemampuan kolektif tim, dan sistem kompetisi yang profesional. Namun untuk pemain seperti Ronaldo, memiliki itu semua belum tentu cukup manakala karakter dirinya justru dapat menjadi ancaman. Ronaldo beruntung, adalah Sir Alex Ferguson yang berada di sisinya dalam fase krusial pertumbuhannya sebagai seorang pesepakbola. Fergie tidak pernah membuka ruang untuk siapapun menjadi bintang. Coba nekat, paling ringan ditimpuk sepatu. Manchester United adalah tim besar dengan kekuatan kolektif. Pemain kunci pasti ada, namun tidak ada ketergantungan. Keseimbangan ini yang membuat Ronaldo bisa fokus mengasah kemampuan tanpa harus terlena oleh hal-hal lain yang bersifat destruktif. Meskipun tetap saja sesekali ada momen-momen yang bikin publik gemas kepada Ronaldo karena terlihat arogan, namun percayalah jika bukan di bawah pantauan Fergie, mungkin Ronaldo sudah keburu ‘selesai’.

Hubungan Ronaldo dan Fergie sangat unik. Meskipun memiliki hubungan yang akur dan beberapa kali Ronaldo juga mengatakan “he’s my father in football”, tetapi jika diperhatikan mereka tidak pernah terlihat mesra. Biasa-biasa saja, seperti hubungan baik antara pelatih dan pemain pada umumnya. Hingga akhirnya kepulangan Ronaldo ke MU benar-benar menyadarkan publik bahwa hubungan mereka memang erat. Dalam cerita di autobiografinya, Fergie juga merestui kepergian Ronaldo ke Real Madrid setelah Ronaldo menuruti permintaan Fergie untuk tinggal satu musim lagi. Dinamika seperti ini kiranya tidak lahir begitu saja, melainkan karena ada mutual trust di antara mereka. Hingga akhirnya pada musim panas tahun 2009 Ronaldo benar-benar hijrah ke Spanyol, memulai petualangan baru bersama Real Madrid.

*

Ronaldo mencapai puncak karirnya di Real Madrid, dengan torehan yang tidak terbayangkan. Tiba di Santiago Bernabeu sebagai proyek ambisius Los Galacticos Jilid II, sebetulnya banyak yang skeptis Ronaldo akan berhasil. Masuk akal jika melihat pendekatan Real Madrid membangun tim dengan sangat pragmatis: membeli Kaka, Ronaldo, dan Benzema yang saat itu merupakan rising star dunia sepakbola. Haqqul yaqin jika Messi bukan pemain Barcelona, pasti akan dibeli juga. Musim-musim pertama Ronaldo di Real Madrid sebenarnya tidak terlalu mulus, karena di saat yang bersamaan Barcelona sedang menggila dan mendominasi dunia dengan tiki taka-nya. Meskipun sempat menjuarai La Liga pada musim 2011-2012, tetapi bisa dibilang Real Madrid tidak memiliki pencapaian yang impresif pada tahun-tahun pertama kedatangan Los Galacticos Jilid II. Butuh lima tahun hingga akhirnya Ronaldo menuju puncak dunia.

Berawal dari keberhasilan Real Madrid meraih gelar kesepuluh Liga Champions atau yang dikenal dengan La Decima di musim 2013-2014, prestasi Ronaldo selanjutnya mengalir seperti air: 3 gelar juara Liga Champions tiga musim berturut-turut, 1 gelar La Liga, 1 gelar Copa Del Rey, dan 5 gelar individu FIFA Ballon d’Or. Hampir semua prestasi yang dapat diraih oleh seorang pesepakbola sudah digenggamnya. Saat itu rasanya dunia sepakbola hanya milik Ronaldo (dan Messi). Meskipun agaknya komentar Pele bahwa sepakbola zaman now membosankan karena hanya didominasi dua figur ada benarnya juga. Ditambah prestasi internasional yang diraihnya ketika Ronaldo membawa Portugal menjuarai Piala Eropa tahun 2016. Sebuah fase dimana Ronaldo mengungguli Lionel Messi karena berhasil mempersembahkan major trophy untuk negaranya, sedangkan Messi sedang disorot karena niatnya untuk pensiun setelah gagal membawa Argentina juara Piala Dunia 2014.

*

Jika ada satu hal yang tidak bisa dibantah haters terkait Ronaldo, mungkin itu adalah komitmen Ronaldo terhadap negaranya. Portugal bukanlah sebuah negara dengan histori berlimpah prestasi, meskipun kerap memiliki materi pemain yang mumpuni. Keberadaan sosok seperti Ronaldo tentu membuat tim nasional Portugal bertumpu padanya. Menjadi figur besar di tim semenjana bukan perkara mudah karena pada akhirnya sepakbola adalah soal kerja sama. Namun sejauh fakta yang berjalan, Ronaldo selalu berkomitmen kepada negaranya. Tidak ada mangkir dari panggilan, tidak ada keluhan ‘bekerja seorang diri’, dan tidak ada niat pensiun dini. Bahkan Ronaldo masih bermain hingga hari ini saat usianya sudah jauh di atas usia umum seorang pemain pensiun dari timnas. Namun nyatanya, kita masih melihatnya wara-wiri hingga hari ini.

Ronaldo di final Piala Eropa 2016 adalah sisi lain dirinya yang belum pernah ia tunjukan. Menahkodai tim dengan proses tertartih-tatih dan diliputi kontroversi, Portugal melaju ke final. Saat di fase grup ia mengkritik Islandia yang bermain parkir bus (mungkin Ronaldo lupa bahwa pelopor taktik ini adalah mantan pelatihnya sendiri). Portugal juga lolos ke fase selanjutnya dengan tiket peringkat ketiga terbaik di grup, sebuah sistem aneh dari UEFA saat itu. Sehingga ketika bertemu tuan rumah Perancis di final, Portugal tentu bukan favorit juara. Apalagi saat Ronaldo harus berhenti bermain sejak menit-menit awal karena cedera (yang diwarnai tangisan lagi), semua yang menonton mungkin menilai pertandingan sudah selesai. Namun sepakbola adalah olahraga yang tidak pernah biasa-biasa saja. Sepakbola selalu menghadirkan kejutan dan cerita yang akan mewarnai sejarah. Seperti tak ingin hilang sorotan, Ronaldo berubah menjadi pelatih! Berjalan kesana-kemari dengan kaki diperban, ia sibuk mengomandoi rekan-rekannya dari pinggir lapangan.

Ketika akhirnya Eder mencetak gol, Ronaldo tak bisa menahan dirinya. Ia berteriak sekencang-kencangnya, memegangi kepalanya sendiri seolah tidak percaya. Itu sikap Ronaldo yang biasa, tapi emosi yang keluar tidak biasa. Rasanya belum pernah ada ekspresi seperti itu sepanjang karirnya. Sebetulnya wajar mengingat pencapaian di level tim nasional tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan level klub. Ronaldo akhirnya membuktikan dirinya berada di puncak dunia. Yah, walaupun akhirnya disamakan oleh Messi lagi ketika sang kompatitor akhirnya berhasil membawa Argentina juara Copa America lima tahun kemudian.

Namun satu hal dari Ronaldo yang menurut hemat penulis tidak akan pernah bisa disamai Messi adalah kemampuan adaptifnya. Oke jangan salty dulu, memang benar saat ini Messi sudah berada di klub lain selain Barcelona. Namun pada akhirnya, Ronaldo yang berhasil membuktikan mampu meraih yang terbaik dimanapun, bersama siapapun, dalam jumlah berapapun. Seperti yang pernah ia tulis di Instagram “from Madeira to Lisbon, from Lisbon to Manchester, from Manchester to Madrid, from Madrid to Turin”. Entah karena Ronaldo pandai memilih ekosistem dan timing, atau memang pada dasarnya dia membawa hoki, prestasi akan selalu ada di mana ia berpijak. Meskipun banyak pihak yang menganggap pencapaian Ronaldo di Juventus tidak seberapa, tetapi jika dipikir-pikir kembali bahwa dari total tiga musim, raihan 2 gelar juara Serie A, 1 gelar juara Coppa Italia, dan masih sempat-sempatnya menjadi top skor liga di usia 36 tahun, bukan capaian yang bisa dipandang sebelah mata. Sedangkan Messi baru akan membuktikan diri musim ini, dan bukan tidak mungkin sekaligus jadi yang terakhir.

*

Saat ini Ronaldo mendapat sambutan meriah dalam kepulangannya ke Manchester United. Narasi welcome home bergema dimana-mana. Glorifikasi yang berbahaya, sebetulnya. Ekspektasi tinggi selalu diikuti kekecewaan yang tinggi pula bila gagal dipenuhi. Apalagi banyak yang dikorbankan dalam kepulangan Ronaldo ini, nomor punggung 7 misalnya. Edinson Cavani harus merelakan nomor punggungnya demi sang legenda hidup. Langkah ini membentuk kesan bahwa pada akhirnya Ronaldo akan selalu diprioritaskan. Belum lagi wacana pemindahan ban kapten dari Harry Maguire. Lalu komposisi starting line-up yang pasti akan berubah.

Namun demikian, semua tahu Ronaldo tidak pernah biasa-biasa saja. Menaruh ekspektasi tinggi terhadapnya wajar-wajar saja. Selain pencapaian tim dan individu, rekor demi rekor ia torehkan. Penampil dan pencetak gol terbanyak Liga Champions sepanjang sejarah (rekor most appearances bisa dipastikan akan segera menjadi miliknya karena hanya berjarak satu pertandingan lagi dengan Iker Casillas selaku pemegang caps terbanyak) serta pencetak gol terbanyak di level internasional juga menjadi miliknya. Rekor yang masih bisa dipertahankan karena dirinya belum menunjukan minat undur diri. Jika melihatnya bermain, kita akan sepakat bahwa Ronaldo masih berada di level skill and performance yang luar biasa di usianya yang akan menginjak 37 tahun. Akrobat Ronaldo di atas lapangan memang tidak lagi seluas dulu, namun pergerakannya lebih efektif dan efisien. Belum gantung sepatu saja sudah di atas rata-rata.

Bicara soal kehidupannya di luar lapangan, Ronaldo juga punya banyak cerita. Rekam jejak kehidupan romantisnya menasbihkan Ronaldo sebagai seorang penakluk wanita (walaupun tak sedikit yang mulai mempertanyakan orientasi seksualnya karena belum kunjung menikah). Belum lagi kontroversi yang mewarnai seperti dugaan pelecehan seksual, dimana pembelaan Ronaldo adalah hubungan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Atau yang terbaru soal bikin turun harga saham Coca-Cola. Tentu tidak melupakan sifat arogan yang sudah seperti menjadi identitas dirinya. Namun entah bagaimana, Ronaldo mampu membuat orang-orang tidak berfokus pada hal-hal itu. Apalagi dalam beberapa kesempatan, ia sudah bisa menunjukkan diri sebagai pribadi yang rendah hati dan menghargai orang lain. Sepertinya Ronaldo sudah punya konsultan self-branding.

*

Suka tidak suka, Ronaldo adalah sejarah. Ronaldo telah menjadi bagian dari sejarah sepakbola yang akan terus dibahas dari masa ke masa. Waktu penggemar sepakbola mengikuti sepak terjangnya tidak banyak. Waktu tidak akan berhenti sehingga hari dimana Ronaldo gantung sepatu akan tiba. Selama itu, yang perlu kita lakukan hanyalah menikmati kembali Ronaldo yang tak pernah biasa.

BTS, Grammy, dan Relevansinya

Merayakan keberhasilan BTS dinominasikan dalam ajang 63rd Grammy Awards sebetulnya tidak berlebihan. Pada tanggal 24 November 2020 waktu setempat Recording Academy mengumumkan daftar nominasi untuk 83 kategori, dimana grup musik asal Korea Selatan tersebut menjadi salah satunya untuk kategori Best Pop Duo/Group Performance dengan lagu Dynamite. Berita ini disambut positif banyak pihak, khususnya para penggemar.

Selama beberapa tahun terakhir BTS memang telah menjadi fenomena tersendiri. Mereka mampu menembus pasar Amerika Serikat, pusat industri musik dunia, yang seringkali tidak ramah. Konsep penampil berbentuk grup tanpa instrumen musik bukan hal yang lazim di sana, apalagi jika grup tersebut datang jauh-jauh dari Asia. Namun dengan musik healing yang diproduksi sendiri oleh para anggotanya, serta didukung oleh optimalisasi teknologi, BTS ternyata menarik hati banyak kalangan. Meskipun kini mereka sudah ‘bergeser’ dari identitas awalnya sebagai grup yang beraliran hip-hop, konsistensi menelurkan lagu-lagu bertemakan isu sosial dalam beragam genre membuat BTS tetap digandrungi.

Perlahan tapi pasti posisi BTS semakin kokoh. Mulai dari mendapatkan penghargaan dan tampil di sejumlah ajang penganugerahan musik seperti Billboard Music Awards, American Music Awards, dan MTV Music Awards, merajai tangga lagu Billboard Hot 100, melakukan promosi di banyak acara talkshow kenamaan, hingga wawancara atau pemotretan dengan media-media besar. Tentu jangan lupakan penghargaan dalam negeri yang sudah disapu bersih. Semua momen tersebut akhirnya membawa BTS ke titik hari ini, mengutip kalimat presenter Arirang News “There have been plenty of historic days for BTS, but this might be the pinnacle of many achievements so far. The seven members boyband has been nominated for the Grammy Awards, for the first time ever”

***

Berbicara mengenai Grammy Awards tidak mungkin bisa biasa-biasa saja. Meskipun bersama dengan BBMAs dan AMAs disebut sebagai tiga ajang penganugerahan musik utama di Amerika Serikat, seluruh dunia tahu bahwa Grammy adalah penghargaan yang paling prestisius. Perjalanan BTS di Grammy Awards sendiri bisa dibilang tidak mulus. Awal tahun 2019 merupakan kali pertama mereka hadir karena diundang sebagai pembaca nominasi pemenang salah satu kategori. Nampaknya kemegahan ajang ini memberikan impresi mendalam bagi para member sehingga mereka mulai bermimpi untuk tampil dan mendapatkan nominasi. Tahun berikutnya sempat muncul protes di kalangan fans manakala BTS tidak mendapatkan satu pun nominasi di Grammy Awards 2020, meskipun dinilai memperoleh banyak pencapaian sepanjang tahun 2019. Walaupun akhirnya BTS tampil berkolaborasi dengan Lil Nas X membawakan lagu Old Town Road. Sejak saat itu, sepertinya BTS tak ragu menjadikan penampilan solo dan nominasi di ajang Grammy Awards sebagai tujuan spesifik mereka.

Dari sekian banyak penganugerahan seni yang ada di muka bumi, “EGOT” adalah yang termahsyur. Emmy Awards untuk industri televisi, Grammy Awards untuk industri musik, Oscar (Academy) Awards untuk industri film, dan Tonny Awards untuk broadway. Keempat penganugerahan ini bisa dibilang sangat eksklusif, dan Amerika-sentris. Meskipun terdapat justifikasi bahwa hal tersebut merupakan suatu kewajaran karena pada dasarnya berbasis di Amerika Serikat, selalu ada tuntutan bagi Grammy dan Academy agar dapat inklusif, mengingat tujuannya memang untuk mengapresiasi pencapaian di industri musik dan film secara umum. Berbeda dengan Academy Awards yang mulai berani mengambil keputusan anti-mainstream lewat kemenangan non-English film Parasite pada kategori Best Picture awal tahun ini, sang adik Grammy Awards sepertinya masih ‘malu-malu’.

***

Penghargaan Grammy Awards begitu misterius. Tidak pernah diketahui bagaimana atau kriteria apa yang mendasari pemilihan nominasi maupun pemenang. Berbeda dengan BBMAs dan AMAs yang menentukan pemenang berdasarkan performa chart, jumlah penjualan, serta voting penggemar yang pada prinsipnya bisa diukur, pemilihan nominasi dan pemenang Piala Gramofon ditentukan oleh keputusan dewan komite yang disebut Recording Academy. Anggota Recording Academy terdiri dari para profesional yang berkecimpung di industri musik mulai dari produser, musisi, pelaku bisnis musik, hingga music engineer. Namun identitasnya sendiri tidak diketahui pasti dan jumlahnya mencapai belasan ribu orang. Semua orang dapat bergabung (meski ada juga yang diundang, termasuk BTS dan CEO Big Hit Entertainment Bang Si Hyuk) selama memenuhi syarat tertentu di bidang musik.

Recording Academy menyeleksi puluhan ribu karya yang didaftarkan setiap tahunnya oleh musisi di seluruh dunia. Ini merupakan proses unik yang khas dari Grammy Awards. Recording Academy hanya akan memberikan penghargaan bagi karya-karya yang memang secara resmi didaftarkan. Filosofinya seperti ini: jika merasa layak, silakan memperkenalkan diri. Penyaringan dilakukan melalui voting secara tertutup dan selanjutnya dikaji oleh voting member. Kemudian terbitlah daftar nominasi yang siap diumumkan kepada publik. Singkat kata, Recording Academy terutama voting member, berhak menentukan siapa yang layak dan tidak mendapatkan nominasi maupun piala. Kriteria seperti apa yang dipakai? Yang selalu mereka sampaikan adalah pemberian penghargaan Grammy tidak melihat rekor penjualan, performa tangga lagu, atau tingkat popularitas, melainkan kualitas.

Metode seperti ini ibarat dua sisi mata uang. Penentuan oleh juri membuka ruang untuk penilaian yang tidak semata-mata menggunakan tolak ukur mainstream seperti popularitas atau sebatas musik yang enak didengar, namun juga mengakomodasi sisi filosofis dan idealisme dari sebuah karya. Namun hak absolut selalu menghadirkan konsekuensi subjektifitas. Kredibilitas dan integritas juri menjadi krusial, dan hal ini kerap menjadi salah satu isu yang membayangi Grammy Awards. Sudah rahasia umum bahwa ‘orang-orang kuat’ di dalam Recording Academy diisi oleh pelaku industri musik yang konservatif, mayoritas pria dan berusia di atas 50 tahun. Meskipun beberapa tahun terakhir mereka berusaha mendiversifikasi keanggotaan dengan memasukkan lebih banyak perempuan serta orang-orang yang lebih muda.

Grammy Awards tidak pernah lepas dari kontroversi. Dimulai dari drama artist snubbing yang tidak pernah absen dari pagelaran setiap tahunnya. Tahun 1996 Mariah Carey mendapatkan enam nominasi dan diyakini akan menyapu bersih semua kategori, namun pulang dengan tangan kosong. Hal yang sama menimpa Jay-Z dengan delapan nominasi pada tahun 2018. Masih segar juga dalam ingatan saat tahun lalu Ariana Grande yang datang dengan lima nominasi pun kalah telak. Yang teranyar adalah absennya The Weeknd dari seluruh daftar nominasi untuk Grammy Awards tahun 2021. Padahal album After Hours dan single Blinding Lights mendapat banyak respons positif dari kritikus dan sangat superior merajai tangga lagu.

Isu rasisme juga santer menyerang Grammy Awards. Pada tahun 2013, penyanyi Frank Ocean mengkritik bahwa pemenang yang dipilih selama ini didominasi oleh ras kulit putih (hanya 13 pemenang dari total 57 kali penganugerahan). Selain itu, Grammy juga dinilai cenderung berpihak ke musisi yang lebih konservatif secara musikal alih-alih progresif. Drake salah satu yang vokal soal ini, menyebut Grammy “sidelining a black visionary work in favor of a white traditionalist one”. Sampai akhirnya untuk kali pertama pada tahun 2019 musisi Childish Gambino dengan lagu rap This is America memenangkan dua kategori utama di luar kategori khusus rap. Selama ini Grammy memang dikenal tidak akur dengan genre rap dan hip-hop. Apabila dianalisis dari sudut pandang sosio-politik, friksi tersebut diduga berhubungan dengan histori musik rap yang identik dengan musisi kulit hitam dan sering dijadikan alat perjuangan.

Grammy Awards juga kerap menghadirkan keputusan yang bikin kening berkerut. Momen paling membekas tentu saja saat Adele mengalahkan Beyonce dalam kategori Album of The Year tahun 2017. Album Beyonce Lemonade, dinilai banyak pihak sangat layak menang karena mempunyai dampak sosio-kultural yang signifikan terhadap perjuangan black people. Adele sendiri bahkan ‘merasa bersalah’ dan tidak menyangka bisa menerima penghargaan. Dalam speech-nya Adele memuji Beyonce sebagai inspirasinya serta Lemonade sebagai karya yang monumental. Tiga tahun berselang kejadian serupa berulang. Billie Eilish yang menorehkan prestasi luar biasa dengan menyabet keempat kategori utama (General Field) pada tahun 2020, ‘meminta maaf’ karena merasa Ariana Grande lebih layak mendapatkannya. Jangan lupakan pula kecanggungan indie folk band Bon Iver ketika menerima penghargaan Best Alternative Music Album tahun 2012, karena pada saat itu banyak pihak mempertanyakan kelayakan mereka.

Bias gender juga menjadi persoalan lainnya. Pada tahun 2018 tagar #GrammySoMale sempat viral lantaran Alessia Cara hanya menjadi satu-satunya musisi perempuan yang membawa pulang piala. SZA yang mendapatkan banyak nominasi pun menuai hasil nihil. Selain itu kategori Best Pop Solo Performance didominasi oleh empat musisi perempuan, namun yang keluar sebagai pemenang adalah Ed Sheeran.

Tidak sedikit pelaku musik yang melancarkan protes atau kritikan secara terbuka terhadap kontroversi Grammy. Pemboikotan oleh sejumlah musisi yang menolak hadir seperti Taylor Swift atau Kendrick Lamar tahun lalu merupakan hal yang jamak diberitakan menjelang pagelaran. Bahkan Drake dalam speech-nya, dengan piala gramofon di tangan setelah menerima penghargaan Best Rap Song tahun 2019, melayangkan kritik di hadapan ribuan pasang mata. Rapper ini menyinggung bagaimana Grammy tidak bisa dijadikan tolak ukur absolut karena kontroversi yang menyertainya, terkhusus rasisme. Ada juga Nicki Minaj yang beberapa hari lalu mengingatkan publik lewat Twitter soal dirinya yang tidak mendapatkan penghargaan Best New Artist pada tahun 2012. Padahal tujuh lagunya secara bersamaan merajai chat Billboard dan melebihi prestasi rapper wanita manapun dalam satu dekade terakhir. Contoh paling anyar adalah penyanyi sekelas Elton John yang pasang badan bersuara membela The Weeknd yang tidak muncul dalam daftar nominasi.

***

Meskipun kontroversi selalu menyertai, nyatanya Grammy Awards selalu dinanti. Ada banyak pelaku musik yang menyatakan bahwa Grammy tidak lagi relevan, namun fakta bahwa protes selalu dilayangkan mensiratkan Grammy tetap dipedulikan. Tangisan menjadi hal yang lumrah ketika bahkan baru sebatas nominasi yang diumumkan. Silakan lihat reaksi Dua Lipa jika tidak percaya. Grammy Awards memang mempunyai magis tersendiri. Diselenggarakan sejak 61 tahun yang lalu, yang pasti faktor historis akan selalu melekat. Penonton Grammy Awards juga bukan sekumpulan anak muda yang ingin menonton pertunjukan musik, yang hadir adalah kritikus serta pelaku industri musik dengan tuksedo dan gaun malam. Jumlah karya yang masuk hingga puluhan ribu mengisyaratkan bahwa musisi di seluruh dunia berlomba-lomba ingin diakui oleh Recording Academy. Memenangkan Grammy seolah membuktikan musik mereka bukan hanya berhasil memikat hati penikmat musik, namun juga kritikus musik (dewan juri) yang dikenal beringas. Yah walaupun dewan juri ini sering dibanjiri sumpah serapah juga.

Eksklusivitas dan konservatisme adalah faktor yang malah mungkin menyebabkan Grammy Awards seperti memiliki pengaruh powerful. Seolah ada tembok tinggi yang tidak bisa dilewati sembarang orang. Tembok yang ingin dihancurkan oleh banyak musisi, tak terkecuali BTS. Datang dari Asia, berkonsep boyband, dan berpenampilan soft-masculine, BTS berpotensi menjadi ‘sasaran empuk’ tindakan Xenophobia dan rasisme. Banyak pihak yang meyakini bahwa kekuatan terbesar BTS dalam menaklukkan obstacle tersebut adalah ketulusan mereka dalam bermusik. Pesan-pesan pemberdayaan diri yang akan selalu relevan bagi siapapun yang mendengarnya. BTS pun sudah membuktikan pencapaiannya secara lokal dan global. Semua penghargaan telah diraih, kecuali satu. Ya si Piala Gramofon ini.

Ada banyak komentar di dunia maya yang beredar dengan nada menyepelekan “ah BTS dapat Grammy doang bangga” atau sebaliknya dengan nada memuji “ah BTS mah pasti dapat Grammy kok”. Kedua kalimat tersebut bertolak belakang, namun sebenarnya bermakna sama: dapat Grammy itu gampang. Ingin rasanya membawa orang-orang ini ke Staples Center agar melihat seperti apa ajang penganugerahan Grammy itu. Musisi besar seperti Beyonce atau Jay-Z mudah saja ‘dipermalukan’ (untung saja mereka tidak dipermalukan secara bersamaan, kan bisa malu sama tetangga). Mendapatkan Grammy bukan, sangat bukan, perkara mudah. Variabel yang mempengaruhi penentuan pemenang atau bahkan sekedar nominasi terlalu kompleks. Hal ini membuat hasil Grammy Awards tidak mudah ditebak.

Namun bukan berarti BTS tanpa harapan. Mendapatkan nominasi artinya telah membuka pintu pertama. Dalam kategori Best Pop Duo/Group Performance, BTS merupakan satu-satunya nominee yang berbentuk grup, sisanya adalah penampil featuring. Meskipun ada yang memandang sebelah mata pencapaian ini karena bukan nominasi kategori utama, tetapi sebetulnya BTS berada di kategori yang tepat. Best Pop Duo/Group Performance termasuk dari 15 kategori (dari total 83 kategori) yang diumumkan secara premier. Masuk nominasi artinya BTS telah dilirik oleh The Great and Mysterious Recording Academy diantara ribuan musisi. Jikalau ada argumentasi bahwa penominasian BTS hanya untuk ‘meredam’ amarah fans di media sosial sejak tahun lalu, rasanya kurang masuk akal. Mengingat sejarah Grammy yang toh biasanya tidak peduli dengan cacian seisi dunia sekalipun, atau bahkan kritik dari artis yang mereka menangkan sendiri seperti Drake.

***

Menembus tembok Grammy memiliki beragam makna. Mendapatkan nominasi Grammy Awards terlebih memenangkannya, akan menandakan puncak karir seorang musisi. Grammy Awards adalah penghargaan tertinggi di industri musik, meskipun dengan segala kontroversi yang menyertainya. Grammy Awards selalu menjadi impian setiap musisi, meskipun dengan hate and love relationship yang tidak ada habisnya. Seperti perkataan Jimin dalam siaran langsung BTS setelah pengumuman nominasi, Grammy Awards adalah raja dari seluruh penghargaan musik, meskipun banyak orang (termasuk warga Korea sendiri) yang belum benar-benar paham penghargaan seperti apa Grammy itu.

Melihat BTS yang selama setahun terakhir ini blak-blakan menyatakan keinginannya mendapatkan Grammy tidaklah aneh. Sangat wajar malah. Artinya mereka benar-benar memahami industri musik dunia. Berkaca pada pencapaian yang telah BTS raih sejak tujuh tahun berkarir, sudah sewajarnya Grammy Awards adalah penghargaan (secara hirarki) terakhir yang mereka bidik. Memenangkannya juga akan menjadi ‘penutup’ yang manis bagi perjalanan karir mereka sebelum hiatus, ketika satu per satu anggotanya harus mulai menjalankan dinas militer. Apa tujuan mereka selanjutnya setelah berhasil mendapatkan Grammy Awards biarlah menjadi urusan nanti. Musisi seperti BTS akan selalu menemukan esensi dari apa yang mereka kerjakan, one way or another.

Apabila BTS berhasil memperoleh penghargaan 63rd Grammy Awards, maknanya bukan sekadar pengakuan kualitas musik. Namun juga pematahan stereotipe, bias rasial, eksklusifitas, dan konservatisme. Memenangkan Grammy Awards akan selalu relevan. Jika pun tidak menang, bukan berarti penghargaan ini tidak relevan, mungkin belum rezeki saja. Pertanyaannya, apakah BTS akan berhasil? 31 Januari 2021 yang akan menjawabnya.

It begins…

The scariest moment is always just before you start.

Stephen King

Ikatlah ilmu dengan menulis. Saat mencari kalimat pembuka untuk memulai publikasi dalam platform ini, pilihan jatuh kepada frasa di atas. Sebuah frasa dari Ali bin Abi Thalib yang sangat cocok mendefinisikan makna menulis. Menulis adalah merapikan gagasan. Manusia menerima jutaan stimulus setiap harinya. Dari stimulus tersebut lahir sebuah persepsi, bagaimana kita memaknai situasi, interaksi dengan orang lain, serta rasa dan karsa. Tak jarang persepsi-persepsi yang tersimpan di kepala saling terhubung hingga akhirnya bertumbuh menjadi sebuah gagasan.

Hanya jika disampaikan, maka gagasan akan abadi. Seminimal-minimalnya dapat memperluas cakrawala, terlebih jika mampu menginspirasi orang lain. Bisa juga sesederhana meluapkan rasa. Platform ini hadir dengan semangat yang sama. Merapikan setiap keping pemikiran yang penulis peroleh dari pemaknaan terhadap dunia. Ada banyak kekhawatiran saat hendak memulai. Apakah bisa konsisten? Apakah akan bagus dan berbobot? Apakah bisa bermanfaat? Namun seperti kata Stephen King, ketakutan hadir hanya ketika kita mau memulai.

Solusinya? Ya dilakukan saja. Bismillah, Insya Allah memulai langkah kecil untuk aktif menulis lagi. Mudah-mudahan bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.